Rabu, 22 Agustus 2007

‘Republik’ Pemalang ‘Cekal’ Rendra?

Kepala Dinas Pendidikan Pemalang mengaku tidak melarang hadirnya WS Rendra di SMA1 Pemalang minggu lalu (19/8). Kalaupun acara itu harus dibatalkan, hanya karena masalah koordinasi sebab untuk mendatangkan Rendra membutuhkan persiapan matang. Alasan itu terasa aneh dan terkesan dicari-cari sekedar untuk nenutupi hal yang sebenarnya sehingga sulit diterima akal sehat (common sense). Sumber media menulis, alasan yang utama adalah kekawatiran jika Si Burung Merak itu akan melakukan kritik-kritik sosial. Pihak yang melarang pasti paham betul siapa Rendra, dan pasti sudah tahu reputasinya dan puisi-puisi baladanya yang selama ini syarat dengan kritik sosial dan politik kepada pejabat negeri.



Benarkah pejabat di ‘negeri’ Pemalang ketakutan kalau-kalau Rendra bakal memberi kritik? Mengapa ‘ketakutan’ itu terjadi? Adakah ini hanya semata-mata pejabat di ‘negeri’ Pemalang mengalami paranoid belaka, takut dengan reputasi dan sosok Rendra? Ada ketakukan pasti ada sebab, sebagaimana ada asap pasti ada api. Saya tidak ingin berspekulasi terhadap masalah ini dan biarlah masyarakat di seantero negeri ini menyimpulkan sendiri terhadap apa yang dilakukan pejabat ‘negeri’ Pemalang.

****

Saya, dan sebagian besar masyarakat Pemalang khususnya dan seentero negeri ini umumnya, lebih-lebih yang tumbuh dan besar di era Orde Baru, pasti tidak terlalu familier dengan sastra yang bernuansa kritik sosial. Sastra yang dipelajari adalah bahasa yang indah-indah, puitik, memukau dan meninabobokan. Suatu sastra yang tidak berpijak kepada realitas dan seolah kita dibawa ke negeri ke atas awan yang tinggi di langit biru.

Itulah kira-kira madhab sastra yang selama ini dikembangkan dalam dunia pendidikan kita, utamanya saat Orde Baru. Dalam atmosfir yang demikian, tentu saja tidak ada tempat untuk sastra memiliki pemihakan terhadap masalah masalah sosial, politik, ekonomi dan budaya. Sastra yang kritis tidak diberi ruang yang memadai apalagi bisa diakses oleh khalayak luas. Secara pelan dan pasti, berkembang kesadaran di kalangan masyarakat bahwa sastra itu dunia yang tidak bersentuhan dengan realitas.

Kesadaran itu semakin sempurna, ketika pejabat negeri ini kala itu menggunakan banyak cara untuk memangkas sastra yang kritis. Pertama, melalui perangkat idelogi dengan memberi labeling sastrawan yang mengungkapkan realitas sosial sebagai kelompok kiri, subversive dan bertentantangan dengan pembangunan. Pendek kata, yang melakukan kritik terhadap penguasa dianggap sebagai pembangkang dan untuk itu akan terkena delik pidana.

Kedua, cara lain untuk memangkas tumbuhnya sastra yang kritis itu dengan tidak memberi ruang dan tempat kepada sastrawan tersebut untuk tampil dalam kancah sastra nasional. Banyak cara dilakukan, dari pendeketakan ijin jika akan melakukan pementasan sampai menggunakan pasal 154 dan pasal 155 KUHP, (Untunglah pasal ini sudah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi).

Ketiga, untuk memastikan itu, maka terjadi proses birokratisasi. Sastra yang pada dasarnya merupakan dunia kreatif, dunia bebas, dunia idea yang bersentuhan dengan realitas sosial dimandulkan. Modusnya, melalui campur tangan birokrasi. Oleh karena itu, Dewan Kesenian yang ada lebih menjadi perpanjangan kepentingan pejabat politik negeri dibandingkan kepentingan dunia sastra sendiri. Tentu saja tidak ada ruang bagi sastrawan yang kritis, yang karya-karyanya merupakan astikulasi sosial politik yang terjadi. Kalaupun orang semacam Rendra masih bisa tampil, maka proses ijinnya panjang dan karya-karya yang akan dibacakan disensor dulu.

Dalam situasi seperti itu, maka wajar jika sangat sedikit karya sastra yang bernuansa kritik sosial. Meski demikian, harus diakui, ia tetap tumbuh dan berkembang ‘dibawah tanah’. Sebut saja diantaranya, karya-karya Pramudya Ananta Toer yang ditulis di Pulau Buru yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dan mendapatkan apresiasi yang luar biasa dari komunitas manca Negara. Bukan hanya itu saja, oleh karena karyanya itu membawa dirinya menjadi satu-satunya anak negeri yang menjadi nominator hadiah Noble dibidang sastra. Jadi memang menjadi ironi jika karya sastranya yang mengangkat realitas sosial di dalam negeri dilarang, tetapi komunitas internasional justru mengapresiasinya.

****

Sastra pada dasarnya merupakan artikulasi seseorang untuk menyuarakan aspirasi politiknya, wahana untuk menyikapi keadaan baik memuji atau melakukan kritik. Realitas sosial merupakan setting, konteks, atau latar yang menentukan sikap politik seseorang. Dari realitas yang ia hadapi sehari-hari, kemudian direflesikan untuk kemudian dituangkan dalam kata-kata.

Oleh karena itu, biasanya apa yang diartikulasikan oleh sastrawan khususnya masalah-masalah yang terkait dengan masalah sosial politik itu menjerminkan suasana batin masyarakat pada umumnya. Jadi kalau pun itu berupa kritik, maka ia merupakan reprensentasi dari suara dan hati nurani masyarakat luas. Bagaimanapun kritik yang dikemukakan itu tidak untuk kepentingan diri sendiri, tetapi agar ada perbaikan untuk kepentingan dan kemaslahatan bersama.

Lagi pula, sastra yang sarat kritik sosial pada dasarnya merupakan aspirasi. Pada era seperti sekarang ini, dimana ruang public yang bebas (free public sphere) tersedia, maka keberadaannya sah dan niscaya adanya. Mestinya kita berterima kasih kepada individu yang melakukan kritik, sebab dengan kritik kita bisa memperbaiki diri, bisa berefleksi dan bisa mengaca diri. Mengapa? Sastra pada dasarnya pantulan dari kehidupan manusia itu sendiri. Dalam sejarahnya, hanya sastra yang berpijak kepada realitas sosial saja yang memberi manfaat dan mengantarkan pembaca untuk kritis, mengambil pelajaran untuk kemudian mentranspormasikan ke dalam kehidupannya sendiri-sendiri.

Dengan konteks seperti yang dipaparkan di atas, maka tulisan ini ingin kembali kepada kasus ‘pencelakan’ Rendra. Dari peristiwa itu menunjukkan bahwa pejabat ‘negeri’ Pemalang masih belum berubah. Alasan yang dikemukakan sangat klasik, meniru gaya Orde Baru. Padahal zaman sudah berubah, iklim dan suasana politik sudah berganti. Bukan musimnya lagi ‘mencekal’ seseorang karena alasan ia kritis.

Kepala Dinas Pendidikan Pemalang mengaku tidak melarang hadirnya WS Rendra di SMA1 Pemalang minggu lalu (19/8). Kalaupun acara itu harus dibatalkan, hanya karena masalah koordinasi sebab untuk mendatangkan Rendra membutuhkan persiapan matang. Alasan itu terasa aneh dan terkesan dicari-cari sekedar untuk nenutupi hal yang sebenarnya sehingga sulit diterima akal sehat (common sense). Sumber media menulis, alasan yang utama adalah kekawatiran jika Si Burung Merak itu akan melakukan kritik-kritik sosial. Pihak yang melarang pasti paham betul siapa Rendra, dan pasti sudah tahu reputasinya dan puisi-puisi baladanya yang selama ini syarat dengan kritik sosial dan politik kepada pejabat negeri.



Benarkah pejabat di ‘negeri’ Pemalang ketakutan kalau-kalau Rendra bakal memberi kritik? Mengapa ‘ketakutan’ itu terjadi? Adakah ini hanya semata-mata pejabat di ‘negeri’ Pemalang mengalami paranoid belaka, takut dengan reputasi dan sosok Rendra? Ada ketakukan pasti ada sebab, sebagaimana ada asap pasti ada api. Saya tidak ingin berspekulasi terhadap masalah ini dan biarlah masyarakat di seantero negeri ini menyimpulkan sendiri terhadap apa yang dilakukan pejabat ‘negeri’ Pemalang.

****

Saya, dan sebagian besar masyarakat Pemalang khususnya dan seentero negeri ini umumnya, lebih-lebih yang tumbuh dan besar di era Orde Baru, pasti tidak terlalu familier dengan sastra yang bernuansa kritik sosial. Sastra yang dipelajari adalah bahasa yang indah-indah, puitik, memukau dan meninabobokan. Suatu sastra yang tidak berpijak kepada realitas dan seolah kita dibawa ke negeri ke atas awan yang tinggi di langit biru.

Itulah kira-kira madhab sastra yang selama ini dikembangkan dalam dunia pendidikan kita, utamanya saat Orde Baru. Dalam atmosfir yang demikian, tentu saja tidak ada tempat untuk sastra memiliki pemihakan terhadap masalah masalah sosial, politik, ekonomi dan budaya. Sastra yang kritis tidak diberi ruang yang memadai apalagi bisa diakses oleh khalayak luas. Secara pelan dan pasti, berkembang kesadaran di kalangan masyarakat bahwa sastra itu dunia yang tidak bersentuhan dengan realitas.

Kesadaran itu semakin sempurna, ketika pejabat negeri ini kala itu menggunakan banyak cara untuk memangkas sastra yang kritis. Pertama, melalui perangkat idelogi dengan memberi labeling sastrawan yang mengungkapkan realitas sosial sebagai kelompok kiri, subversive dan bertentantangan dengan pembangunan. Pendek kata, yang melakukan kritik terhadap penguasa dianggap sebagai pembangkang dan untuk itu akan terkena delik pidana.

Kedua, cara lain untuk memangkas tumbuhnya sastra yang kritis itu dengan tidak memberi ruang dan tempat kepada sastrawan tersebut untuk tampil dalam kancah sastra nasional. Banyak cara dilakukan, dari pendeketakan ijin jika akan melakukan pementasan sampai menggunakan pasal 154 dan pasal 155 KUHP, (Untunglah pasal ini sudah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi).

Ketiga, untuk memastikan itu, maka terjadi proses birokratisasi. Sastra yang pada dasarnya merupakan dunia kreatif, dunia bebas, dunia idea yang bersentuhan dengan realitas sosial dimandulkan. Modusnya, melalui campur tangan birokrasi. Oleh karena itu, Dewan Kesenian yang ada lebih menjadi perpanjangan kepentingan pejabat politik negeri dibandingkan kepentingan dunia sastra sendiri. Tentu saja tidak ada ruang bagi sastrawan yang kritis, yang karya-karyanya merupakan astikulasi sosial politik yang terjadi. Kalaupun orang semacam Rendra masih bisa tampil, maka proses ijinnya panjang dan karya-karya yang akan dibacakan disensor dulu.

Dalam situasi seperti itu, maka wajar jika sangat sedikit karya sastra yang bernuansa kritik sosial. Meski demikian, harus diakui, ia tetap tumbuh dan berkembang ‘dibawah tanah’. Sebut saja diantaranya, karya-karya Pramudya Ananta Toer yang ditulis di Pulau Buru yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dan mendapatkan apresiasi yang luar biasa dari komunitas manca Negara. Bukan hanya itu saja, oleh karena karyanya itu membawa dirinya menjadi satu-satunya anak negeri yang menjadi nominator hadiah Noble dibidang sastra. Jadi memang menjadi ironi jika karya sastranya yang mengangkat realitas sosial di dalam negeri dilarang, tetapi komunitas internasional justru mengapresiasinya.

****

Sastra pada dasarnya merupakan artikulasi seseorang untuk menyuarakan aspirasi politiknya, wahana untuk menyikapi keadaan baik memuji atau melakukan kritik. Realitas sosial merupakan setting, konteks, atau latar yang menentukan sikap politik seseorang. Dari realitas yang ia hadapi sehari-hari, kemudian direflesikan untuk kemudian dituangkan dalam kata-kata.

Oleh karena itu, biasanya apa yang diartikulasikan oleh sastrawan khususnya masalah-masalah yang terkait dengan masalah sosial politik itu menjerminkan suasana batin masyarakat pada umumnya. Jadi kalau pun itu berupa kritik, maka ia merupakan reprensentasi dari suara dan hati nurani masyarakat luas. Bagaimanapun kritik yang dikemukakan itu tidak untuk kepentingan diri sendiri, tetapi agar ada perbaikan untuk kepentingan dan kemaslahatan bersama.

Lagi pula, sastra yang sarat kritik sosial pada dasarnya merupakan aspirasi. Pada era seperti sekarang ini, dimana ruang public yang bebas (free public sphere) tersedia, maka keberadaannya sah dan niscaya adanya. Mestinya kita berterima kasih kepada individu yang melakukan kritik, sebab dengan kritik kita bisa memperbaiki diri, bisa berefleksi dan bisa mengaca diri. Mengapa? Sastra pada dasarnya pantulan dari kehidupan manusia itu sendiri. Dalam sejarahnya, hanya sastra yang berpijak kepada realitas sosial saja yang memberi manfaat dan mengantarkan pembaca untuk kritis, mengambil pelajaran untuk kemudian mentranspormasikan ke dalam kehidupannya sendiri-sendiri.

Dengan konteks seperti yang dipaparkan di atas, maka tulisan ini ingin kembali kepada kasus ‘pencelakan’ Rendra. Dari peristiwa itu menunjukkan bahwa pejabat ‘negeri’ Pemalang masih belum berubah. Alasan yang dikemukakan sangat klasik, meniru gaya Orde Baru. Padahal zaman sudah berubah, iklim dan suasana politik sudah berganti. Bukan musimnya lagi ‘mencekal’ seseorang karena alasan ia kritis.

Read more......

Senin, 06 Agustus 2007

Ketika “ Kekeringan “ Menjadi Langganan

Sejak bangun tidur, sebagian masyarakat Pemalang selatan seperti di wilayah Kecamatan Belik dan wilayah Kecamatan Pulosari, musim kemarau menjadi masa paceklik. Kegiatan sehari-harinya tidak lagi disibukan untuk mengais rezeki, tetapi mencari air bersih adalah kegiatan utama mereka. Aktifitas ini dilakukan oleh semua kalangan dan lapisan masyarakat, tidak terkecuali lelaki dan perempuan, tua maupun muda bahkan tidak jarang diantaranya anak-anak.



Di pingir-pinggir jalan di daerah berketinggian 900 meter sampai 1.100 meter di atas permukaan air laut ini tampak berderet jerigen-jerigen dengan berbagai ukuran yang siap digendong, dipikul, di boncengkan sepeda ontel, sepeda motor atau diangkut mobil bagi kalangan masyarakat yang tergolong berdompet tebal. Jarak yang harus ditempuh untuk mencapai sumber mata air bersih berkisar antara 5 km sampai 10 km lebih.
Berdasarkan data di pemerintah setempat, kekurangan air dialami sedikitnya10 desa dengan jumlah penduduk tidak kurang dari 60.000 jiwa di dua wilayah Kecamatan. Di Kecamatan Pulosari, meliputi Desa Siremeng, Desa Batursari, Desa pagenteran, Desa Penakir, Desa gunungsari, Desa Clekatakan, Desa Pulosari dan desa Cikendung. Sedangkan di Kecamatan Belik hanya dialami oleh dua Desa yaitu Desa Gombong dan disebagian desa Belik.
Kita tahu, kekurangan air bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainya seperti pada wilayah pemalang selatan ini disebut sebagai bentuk kekeringan. Meskipun kekeringan termasuk dalam ranah bencana, tetapi tidak berarti kekeringan dengan sendirinya disebut sebagai bencana mana kala belum ada keputusan politik. Terdapat indikator terhadap sebuah kejadian atau peristiwa bisa disebut sebagai bencana manakala kejadian itu menimbulkan telah resiko terjadinya kerentanan (Vulnerability), sebuah kondisi buruk yang memiliki pengaruh paralel, bertalian satu sama lain dimana kemampuan masyarakat untuk mengantisipasi, menghadapi, bertahan dan recovery menjadi berkurang.
UU No. 24/2007 tentang Penggulangan Bencana menjelaskan bahwa bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Dilihat dari faktor penyebabnya, pada pasal 1, ayat 2 UU ini, dijelaskan bahwa “ bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor “.
Fenomena diatas menyuguhkan gambaran yang bersimpul atara resiko dan dampak yang terjadi secara faktual terhadap konsepsi kekeringan dan bencana secara teoritis dan yuridis. Pemandangan alam yang tandus dan berdebu diwilyah yang semula ijo royo-royo dan aktifitas masyarakat yang tidak lagi produktif seperti diatas adalah dampak ekonomis secara langsung yang memiliki makna kerugian dan dampak ikutan yang kompleks.
Hak atas air
Pada sebagian besar kebutuhan kehidupan manusia, air menjadi hal yang mutlak dan oleh karenanya negara wajib memberikan jaminan akan ketersediaan air yang cukup. Pendiri bangsa ini bahkan sejak dini telah menempatkan air sebagai salah satu sumber daya alam yang secara tegas diatur dalam hukum dasar kita ( UUD 1945 ), dikuasai negara untuk digunakan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Meskipun setelah terjadinya amandemen ke empat UUD 1945, kemudian lahir UU No. 7/ tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang menimbulkan polemik dahsyat dan menjadi mozaik yang menakutkan bagi banyak kalangan karena dinilai menjadi ancaman hak-hak warga negara akan ketersediaan air secara mudah ketika otoritas air dapat dikuasai swasta dan para pemilik modal.
Dalam konteks global, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada bulan september 2000, telah membuat nota kesepakatan tentang Melinium Development Goals (MDG) yang salah satu targetnya adalah “ Mengurangi separuh penduduk yang belum mempunyai akses terhadap air minum dan sanitasi yang sehat pada tahun 2015”. Definisi akses menurut Global Water Supplay And Sanitation Assesment 2000 report (WHO/UNICEF), adalah akses kepada ketersediaan air minum minimal 20 liter/orang/hari dengan jarak tidak lebih dari 1 km. Dan pada tahun 2002, PBB mengeluarkan penegasan bahwa akses terhadap air merupakan hak asasi yang fundamental, sehingga negara-negara anggota mempunyai kewajiban hukum untuk segera merealisasikan hak atas air tersebut termasuk penyesuaian terhadap peraturan dan perundangan yang terkait.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 tahun 2005, menjelaskan bahwa pengembangan sistem penyediaan air minum menjadi tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah untuk menjamin hak setiap orang dalammendapatkan air minum bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupan yang sehat, bersih, dan produktif sesuai dengan peraturan dan perundangan.
Penanganan
Wakil Gubernur jateng Drs. Ali Mufiz MPA, pada tanggal 31 Juli lalu menyatakan bahwa untuk menangani bencana kekeringan di wilayah Jawa Tengah termasuk Pemalang secara komprehensif , untuk itu Pemprov Jateng melakukan pendataan semua kabupaten /kota. Badan koordinasi Pembangunan Lintas Kabupaten/Kota (Bakorlin) wilayah III banyums-Pekalongan telah menyiapkan 2.700 tangki air bersih yang akan di drop ke desa-desa rawan air di 10 Kabupaten/Kota untuk menhadapi musimkemarau.
Sebelumnya, Tgl 19 Juli lalu Kantor Kesbang Linmas Kabupaten Pemalang mengeluarkan data kekeringan 8 desa di wilayah Kec. Pulosari sudah didroping bantuan air sejak tanggal 19 Juni lalu. Setiap hari sebanyak 4 tangki berkapasitas 4.000 liter, dan baru menjangkau 250 KK di Desa Siremeng, Batursari 192 KK, Pagenteran 98 KK, Penakir 23 KK, Gunungsari 184 KK, Clekatakan 291 KK, Pulosari 466 KK, dan Cikendung 263 KK. Sementara bantuan air untuk Desa Gombong dan Desa Belik Kecamatan Belik yang rawan air baru dalam tahap rapat koordinasi.
Bisa dihitung, kebijakan droping air ini tidak mampu menjawab kekurangan kebutuhan air secara minimal. Di Desa Siremeng misalnya, jumlah penduduknya 6.045 jiwa dengan Kepala Keluarga (KK) sebanyak 1.145. Sementara droping air dari pemerintah daerah satu hari hanya 4 tangki ukuran 4.000 liter untuk 250 KK, sisanya 895 KK belum terjangkau.
Meskipun kekeringan di wilayah ini menjadi langganan setiap musim kemarau dan baru akan berakhir setelah musim hujan turun, sejauh ini setiap tahunnya pemerintah daerah masih cenderung berkutat dengan kebijakan droping bantuan air bersih dengan tangki-tangki yang terbatas dan terjadwal. Alur kebijakan yang menurut kacamata Penanggulangan Bencana tergolong sebagai tanggap darurat ini seakan berdiri sendiri dan sudah final. Sebab untuk bisa disebut sebagai kebijakan yang bersifat komprehensif, sejauh ini ternyata tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang langkah-langkah sebagai upaya pemulihan (rehabilitation) dan rekonstruksi (reconstruktion), apalagi kegiatan pencegahan (preventive), mitigasi (mitigation) dan kesiapsiagaan (preparadnes).
Agaknya, pemerintah daerah belum memiliki konsep yang jelas tentang apa itu penanggulangan bencana secara komprehensif. Pemkab masih terjebak pada kebijakan tanggap daruran dengan melihat korban bencana hanya dari sisi sebagai pihak yang memerlukan pertolongan semata. Sehingga bantuan berupa droping air merupakan penjabaran kebijakan pada bencana kekeringan dan relokasi sebagai penjabaran kebijakan terhadap bencana alam lainya seperti pada bencana tanah longsor dll. Diperlukan adanya perubahan paradigma pengelolaan bencana, jikalau pemerintah benar-benar memiliki komitment yang tinggi terhadap pemberdayaan masyarakat. Pemerintah perlu memiliki kebijakan dan program yang lebih berpihak dan melihatnya dari sisi kebutuhan dan kepentingan warga dalam menciptakan lingkungan yang ramah dan aman. Karena pada dasrnya bencana bisa terjadi kapan saja, dimana saja dan bisa menimpa siapa saja.***

Sejak bangun tidur, sebagian masyarakat Pemalang selatan seperti di wilayah Kecamatan Belik dan wilayah Kecamatan Pulosari, musim kemarau menjadi masa paceklik. Kegiatan sehari-harinya tidak lagi disibukan untuk mengais rezeki, tetapi mencari air bersih adalah kegiatan utama mereka. Aktifitas ini dilakukan oleh semua kalangan dan lapisan masyarakat, tidak terkecuali lelaki dan perempuan, tua maupun muda bahkan tidak jarang diantaranya anak-anak.



Di pingir-pinggir jalan di daerah berketinggian 900 meter sampai 1.100 meter di atas permukaan air laut ini tampak berderet jerigen-jerigen dengan berbagai ukuran yang siap digendong, dipikul, di boncengkan sepeda ontel, sepeda motor atau diangkut mobil bagi kalangan masyarakat yang tergolong berdompet tebal. Jarak yang harus ditempuh untuk mencapai sumber mata air bersih berkisar antara 5 km sampai 10 km lebih.
Berdasarkan data di pemerintah setempat, kekurangan air dialami sedikitnya10 desa dengan jumlah penduduk tidak kurang dari 60.000 jiwa di dua wilayah Kecamatan. Di Kecamatan Pulosari, meliputi Desa Siremeng, Desa Batursari, Desa pagenteran, Desa Penakir, Desa gunungsari, Desa Clekatakan, Desa Pulosari dan desa Cikendung. Sedangkan di Kecamatan Belik hanya dialami oleh dua Desa yaitu Desa Gombong dan disebagian desa Belik.
Kita tahu, kekurangan air bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainya seperti pada wilayah pemalang selatan ini disebut sebagai bentuk kekeringan. Meskipun kekeringan termasuk dalam ranah bencana, tetapi tidak berarti kekeringan dengan sendirinya disebut sebagai bencana mana kala belum ada keputusan politik. Terdapat indikator terhadap sebuah kejadian atau peristiwa bisa disebut sebagai bencana manakala kejadian itu menimbulkan telah resiko terjadinya kerentanan (Vulnerability), sebuah kondisi buruk yang memiliki pengaruh paralel, bertalian satu sama lain dimana kemampuan masyarakat untuk mengantisipasi, menghadapi, bertahan dan recovery menjadi berkurang.
UU No. 24/2007 tentang Penggulangan Bencana menjelaskan bahwa bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Dilihat dari faktor penyebabnya, pada pasal 1, ayat 2 UU ini, dijelaskan bahwa “ bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor “.
Fenomena diatas menyuguhkan gambaran yang bersimpul atara resiko dan dampak yang terjadi secara faktual terhadap konsepsi kekeringan dan bencana secara teoritis dan yuridis. Pemandangan alam yang tandus dan berdebu diwilyah yang semula ijo royo-royo dan aktifitas masyarakat yang tidak lagi produktif seperti diatas adalah dampak ekonomis secara langsung yang memiliki makna kerugian dan dampak ikutan yang kompleks.
Hak atas air
Pada sebagian besar kebutuhan kehidupan manusia, air menjadi hal yang mutlak dan oleh karenanya negara wajib memberikan jaminan akan ketersediaan air yang cukup. Pendiri bangsa ini bahkan sejak dini telah menempatkan air sebagai salah satu sumber daya alam yang secara tegas diatur dalam hukum dasar kita ( UUD 1945 ), dikuasai negara untuk digunakan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Meskipun setelah terjadinya amandemen ke empat UUD 1945, kemudian lahir UU No. 7/ tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang menimbulkan polemik dahsyat dan menjadi mozaik yang menakutkan bagi banyak kalangan karena dinilai menjadi ancaman hak-hak warga negara akan ketersediaan air secara mudah ketika otoritas air dapat dikuasai swasta dan para pemilik modal.
Dalam konteks global, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada bulan september 2000, telah membuat nota kesepakatan tentang Melinium Development Goals (MDG) yang salah satu targetnya adalah “ Mengurangi separuh penduduk yang belum mempunyai akses terhadap air minum dan sanitasi yang sehat pada tahun 2015”. Definisi akses menurut Global Water Supplay And Sanitation Assesment 2000 report (WHO/UNICEF), adalah akses kepada ketersediaan air minum minimal 20 liter/orang/hari dengan jarak tidak lebih dari 1 km. Dan pada tahun 2002, PBB mengeluarkan penegasan bahwa akses terhadap air merupakan hak asasi yang fundamental, sehingga negara-negara anggota mempunyai kewajiban hukum untuk segera merealisasikan hak atas air tersebut termasuk penyesuaian terhadap peraturan dan perundangan yang terkait.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 tahun 2005, menjelaskan bahwa pengembangan sistem penyediaan air minum menjadi tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah untuk menjamin hak setiap orang dalammendapatkan air minum bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupan yang sehat, bersih, dan produktif sesuai dengan peraturan dan perundangan.
Penanganan
Wakil Gubernur jateng Drs. Ali Mufiz MPA, pada tanggal 31 Juli lalu menyatakan bahwa untuk menangani bencana kekeringan di wilayah Jawa Tengah termasuk Pemalang secara komprehensif , untuk itu Pemprov Jateng melakukan pendataan semua kabupaten /kota. Badan koordinasi Pembangunan Lintas Kabupaten/Kota (Bakorlin) wilayah III banyums-Pekalongan telah menyiapkan 2.700 tangki air bersih yang akan di drop ke desa-desa rawan air di 10 Kabupaten/Kota untuk menhadapi musimkemarau.
Sebelumnya, Tgl 19 Juli lalu Kantor Kesbang Linmas Kabupaten Pemalang mengeluarkan data kekeringan 8 desa di wilayah Kec. Pulosari sudah didroping bantuan air sejak tanggal 19 Juni lalu. Setiap hari sebanyak 4 tangki berkapasitas 4.000 liter, dan baru menjangkau 250 KK di Desa Siremeng, Batursari 192 KK, Pagenteran 98 KK, Penakir 23 KK, Gunungsari 184 KK, Clekatakan 291 KK, Pulosari 466 KK, dan Cikendung 263 KK. Sementara bantuan air untuk Desa Gombong dan Desa Belik Kecamatan Belik yang rawan air baru dalam tahap rapat koordinasi.
Bisa dihitung, kebijakan droping air ini tidak mampu menjawab kekurangan kebutuhan air secara minimal. Di Desa Siremeng misalnya, jumlah penduduknya 6.045 jiwa dengan Kepala Keluarga (KK) sebanyak 1.145. Sementara droping air dari pemerintah daerah satu hari hanya 4 tangki ukuran 4.000 liter untuk 250 KK, sisanya 895 KK belum terjangkau.
Meskipun kekeringan di wilayah ini menjadi langganan setiap musim kemarau dan baru akan berakhir setelah musim hujan turun, sejauh ini setiap tahunnya pemerintah daerah masih cenderung berkutat dengan kebijakan droping bantuan air bersih dengan tangki-tangki yang terbatas dan terjadwal. Alur kebijakan yang menurut kacamata Penanggulangan Bencana tergolong sebagai tanggap darurat ini seakan berdiri sendiri dan sudah final. Sebab untuk bisa disebut sebagai kebijakan yang bersifat komprehensif, sejauh ini ternyata tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang langkah-langkah sebagai upaya pemulihan (rehabilitation) dan rekonstruksi (reconstruktion), apalagi kegiatan pencegahan (preventive), mitigasi (mitigation) dan kesiapsiagaan (preparadnes).
Agaknya, pemerintah daerah belum memiliki konsep yang jelas tentang apa itu penanggulangan bencana secara komprehensif. Pemkab masih terjebak pada kebijakan tanggap daruran dengan melihat korban bencana hanya dari sisi sebagai pihak yang memerlukan pertolongan semata. Sehingga bantuan berupa droping air merupakan penjabaran kebijakan pada bencana kekeringan dan relokasi sebagai penjabaran kebijakan terhadap bencana alam lainya seperti pada bencana tanah longsor dll. Diperlukan adanya perubahan paradigma pengelolaan bencana, jikalau pemerintah benar-benar memiliki komitment yang tinggi terhadap pemberdayaan masyarakat. Pemerintah perlu memiliki kebijakan dan program yang lebih berpihak dan melihatnya dari sisi kebutuhan dan kepentingan warga dalam menciptakan lingkungan yang ramah dan aman. Karena pada dasrnya bencana bisa terjadi kapan saja, dimana saja dan bisa menimpa siapa saja.***

Read more......

Template Design | Elque 2007