‘Republik’ Pemalang ‘Cekal’ Rendra?
Kepala Dinas Pendidikan Pemalang mengaku tidak melarang hadirnya WS Rendra di SMA1 Pemalang minggu lalu (19/8). Kalaupun acara itu harus dibatalkan, hanya karena masalah koordinasi sebab untuk mendatangkan Rendra membutuhkan persiapan matang. Alasan itu terasa aneh dan terkesan dicari-cari sekedar untuk nenutupi hal yang sebenarnya sehingga sulit diterima akal sehat (common sense). Sumber media menulis, alasan yang utama adalah kekawatiran jika Si Burung Merak itu akan melakukan kritik-kritik sosial. Pihak yang melarang pasti paham betul siapa Rendra, dan pasti sudah tahu reputasinya dan puisi-puisi baladanya yang selama ini syarat dengan kritik sosial dan politik kepada pejabat negeri.
Benarkah pejabat di ‘negeri’ Pemalang ketakutan kalau-kalau Rendra bakal memberi kritik? Mengapa ‘ketakutan’ itu terjadi? Adakah ini hanya semata-mata pejabat di ‘negeri’ Pemalang mengalami paranoid belaka, takut dengan reputasi dan sosok Rendra? Ada ketakukan pasti ada sebab, sebagaimana ada asap pasti ada api. Saya tidak ingin berspekulasi terhadap masalah ini dan biarlah masyarakat di seantero negeri ini menyimpulkan sendiri terhadap apa yang dilakukan pejabat ‘negeri’ Pemalang.
****
Saya, dan sebagian besar masyarakat Pemalang khususnya dan seentero negeri ini umumnya, lebih-lebih yang tumbuh dan besar di era Orde Baru, pasti tidak terlalu familier dengan sastra yang bernuansa kritik sosial. Sastra yang dipelajari adalah bahasa yang indah-indah, puitik, memukau dan meninabobokan. Suatu sastra yang tidak berpijak kepada realitas dan seolah kita dibawa ke negeri ke atas awan yang tinggi di langit biru.
Itulah kira-kira madhab sastra yang selama ini dikembangkan dalam dunia pendidikan kita, utamanya saat Orde Baru. Dalam atmosfir yang demikian, tentu saja tidak ada tempat untuk sastra memiliki pemihakan terhadap masalah masalah sosial, politik, ekonomi dan budaya. Sastra yang kritis tidak diberi ruang yang memadai apalagi bisa diakses oleh khalayak luas. Secara pelan dan pasti, berkembang kesadaran di kalangan masyarakat bahwa sastra itu dunia yang tidak bersentuhan dengan realitas.
Kesadaran itu semakin sempurna, ketika pejabat negeri ini kala itu menggunakan banyak cara untuk memangkas sastra yang kritis. Pertama, melalui perangkat idelogi dengan memberi labeling sastrawan yang mengungkapkan realitas sosial sebagai kelompok kiri, subversive dan bertentantangan dengan pembangunan. Pendek kata, yang melakukan kritik terhadap penguasa dianggap sebagai pembangkang dan untuk itu akan terkena delik pidana.
Kedua, cara lain untuk memangkas tumbuhnya sastra yang kritis itu dengan tidak memberi ruang dan tempat kepada sastrawan tersebut untuk tampil dalam kancah sastra nasional. Banyak cara dilakukan, dari pendeketakan ijin jika akan melakukan pementasan sampai menggunakan pasal 154 dan pasal 155 KUHP, (Untunglah pasal ini sudah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi).
Ketiga, untuk memastikan itu, maka terjadi proses birokratisasi. Sastra yang pada dasarnya merupakan dunia kreatif, dunia bebas, dunia idea yang bersentuhan dengan realitas sosial dimandulkan. Modusnya, melalui campur tangan birokrasi. Oleh karena itu, Dewan Kesenian yang ada lebih menjadi perpanjangan kepentingan pejabat politik negeri dibandingkan kepentingan dunia sastra sendiri. Tentu saja tidak ada ruang bagi sastrawan yang kritis, yang karya-karyanya merupakan astikulasi sosial politik yang terjadi. Kalaupun orang semacam Rendra masih bisa tampil, maka proses ijinnya panjang dan karya-karya yang akan dibacakan disensor dulu.
Dalam situasi seperti itu, maka wajar jika sangat sedikit karya sastra yang bernuansa kritik sosial. Meski demikian, harus diakui, ia tetap tumbuh dan berkembang ‘dibawah tanah’. Sebut saja diantaranya, karya-karya Pramudya Ananta Toer yang ditulis di Pulau Buru yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dan mendapatkan apresiasi yang luar biasa dari komunitas manca Negara. Bukan hanya itu saja, oleh karena karyanya itu membawa dirinya menjadi satu-satunya anak negeri yang menjadi nominator hadiah Noble dibidang sastra. Jadi memang menjadi ironi jika karya sastranya yang mengangkat realitas sosial di dalam negeri dilarang, tetapi komunitas internasional justru mengapresiasinya.
****
Sastra pada dasarnya merupakan artikulasi seseorang untuk menyuarakan aspirasi politiknya, wahana untuk menyikapi keadaan baik memuji atau melakukan kritik. Realitas sosial merupakan setting, konteks, atau latar yang menentukan sikap politik seseorang. Dari realitas yang ia hadapi sehari-hari, kemudian direflesikan untuk kemudian dituangkan dalam kata-kata.
Oleh karena itu, biasanya apa yang diartikulasikan oleh sastrawan khususnya masalah-masalah yang terkait dengan masalah sosial politik itu menjerminkan suasana batin masyarakat pada umumnya. Jadi kalau pun itu berupa kritik, maka ia merupakan reprensentasi dari suara dan hati nurani masyarakat luas. Bagaimanapun kritik yang dikemukakan itu tidak untuk kepentingan diri sendiri, tetapi agar ada perbaikan untuk kepentingan dan kemaslahatan bersama.
Lagi pula, sastra yang sarat kritik sosial pada dasarnya merupakan aspirasi. Pada era seperti sekarang ini, dimana ruang public yang bebas (free public sphere) tersedia, maka keberadaannya sah dan niscaya adanya. Mestinya kita berterima kasih kepada individu yang melakukan kritik, sebab dengan kritik kita bisa memperbaiki diri, bisa berefleksi dan bisa mengaca diri. Mengapa? Sastra pada dasarnya pantulan dari kehidupan manusia itu sendiri. Dalam sejarahnya, hanya sastra yang berpijak kepada realitas sosial saja yang memberi manfaat dan mengantarkan pembaca untuk kritis, mengambil pelajaran untuk kemudian mentranspormasikan ke dalam kehidupannya sendiri-sendiri.
Dengan konteks seperti yang dipaparkan di atas, maka tulisan ini ingin kembali kepada kasus ‘pencelakan’ Rendra. Dari peristiwa itu menunjukkan bahwa pejabat ‘negeri’ Pemalang masih belum berubah. Alasan yang dikemukakan sangat klasik, meniru gaya Orde Baru. Padahal zaman sudah berubah, iklim dan suasana politik sudah berganti. Bukan musimnya lagi ‘mencekal’ seseorang karena alasan ia kritis.
Kepala Dinas Pendidikan Pemalang mengaku tidak melarang hadirnya WS Rendra di SMA1 Pemalang minggu lalu (19/8). Kalaupun acara itu harus dibatalkan, hanya karena masalah koordinasi sebab untuk mendatangkan Rendra membutuhkan persiapan matang. Alasan itu terasa aneh dan terkesan dicari-cari sekedar untuk nenutupi hal yang sebenarnya sehingga sulit diterima akal sehat (common sense). Sumber media menulis, alasan yang utama adalah kekawatiran jika Si Burung Merak itu akan melakukan kritik-kritik sosial. Pihak yang melarang pasti paham betul siapa Rendra, dan pasti sudah tahu reputasinya dan puisi-puisi baladanya yang selama ini syarat dengan kritik sosial dan politik kepada pejabat negeri.
Benarkah pejabat di ‘negeri’ Pemalang ketakutan kalau-kalau Rendra bakal memberi kritik? Mengapa ‘ketakutan’ itu terjadi? Adakah ini hanya semata-mata pejabat di ‘negeri’ Pemalang mengalami paranoid belaka, takut dengan reputasi dan sosok Rendra? Ada ketakukan pasti ada sebab, sebagaimana ada asap pasti ada api. Saya tidak ingin berspekulasi terhadap masalah ini dan biarlah masyarakat di seantero negeri ini menyimpulkan sendiri terhadap apa yang dilakukan pejabat ‘negeri’ Pemalang.
****
Saya, dan sebagian besar masyarakat Pemalang khususnya dan seentero negeri ini umumnya, lebih-lebih yang tumbuh dan besar di era Orde Baru, pasti tidak terlalu familier dengan sastra yang bernuansa kritik sosial. Sastra yang dipelajari adalah bahasa yang indah-indah, puitik, memukau dan meninabobokan. Suatu sastra yang tidak berpijak kepada realitas dan seolah kita dibawa ke negeri ke atas awan yang tinggi di langit biru.
Itulah kira-kira madhab sastra yang selama ini dikembangkan dalam dunia pendidikan kita, utamanya saat Orde Baru. Dalam atmosfir yang demikian, tentu saja tidak ada tempat untuk sastra memiliki pemihakan terhadap masalah masalah sosial, politik, ekonomi dan budaya. Sastra yang kritis tidak diberi ruang yang memadai apalagi bisa diakses oleh khalayak luas. Secara pelan dan pasti, berkembang kesadaran di kalangan masyarakat bahwa sastra itu dunia yang tidak bersentuhan dengan realitas.
Kesadaran itu semakin sempurna, ketika pejabat negeri ini kala itu menggunakan banyak cara untuk memangkas sastra yang kritis. Pertama, melalui perangkat idelogi dengan memberi labeling sastrawan yang mengungkapkan realitas sosial sebagai kelompok kiri, subversive dan bertentantangan dengan pembangunan. Pendek kata, yang melakukan kritik terhadap penguasa dianggap sebagai pembangkang dan untuk itu akan terkena delik pidana.
Kedua, cara lain untuk memangkas tumbuhnya sastra yang kritis itu dengan tidak memberi ruang dan tempat kepada sastrawan tersebut untuk tampil dalam kancah sastra nasional. Banyak cara dilakukan, dari pendeketakan ijin jika akan melakukan pementasan sampai menggunakan pasal 154 dan pasal 155 KUHP, (Untunglah pasal ini sudah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi).
Ketiga, untuk memastikan itu, maka terjadi proses birokratisasi. Sastra yang pada dasarnya merupakan dunia kreatif, dunia bebas, dunia idea yang bersentuhan dengan realitas sosial dimandulkan. Modusnya, melalui campur tangan birokrasi. Oleh karena itu, Dewan Kesenian yang ada lebih menjadi perpanjangan kepentingan pejabat politik negeri dibandingkan kepentingan dunia sastra sendiri. Tentu saja tidak ada ruang bagi sastrawan yang kritis, yang karya-karyanya merupakan astikulasi sosial politik yang terjadi. Kalaupun orang semacam Rendra masih bisa tampil, maka proses ijinnya panjang dan karya-karya yang akan dibacakan disensor dulu.
Dalam situasi seperti itu, maka wajar jika sangat sedikit karya sastra yang bernuansa kritik sosial. Meski demikian, harus diakui, ia tetap tumbuh dan berkembang ‘dibawah tanah’. Sebut saja diantaranya, karya-karya Pramudya Ananta Toer yang ditulis di Pulau Buru yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dan mendapatkan apresiasi yang luar biasa dari komunitas manca Negara. Bukan hanya itu saja, oleh karena karyanya itu membawa dirinya menjadi satu-satunya anak negeri yang menjadi nominator hadiah Noble dibidang sastra. Jadi memang menjadi ironi jika karya sastranya yang mengangkat realitas sosial di dalam negeri dilarang, tetapi komunitas internasional justru mengapresiasinya.
****
Sastra pada dasarnya merupakan artikulasi seseorang untuk menyuarakan aspirasi politiknya, wahana untuk menyikapi keadaan baik memuji atau melakukan kritik. Realitas sosial merupakan setting, konteks, atau latar yang menentukan sikap politik seseorang. Dari realitas yang ia hadapi sehari-hari, kemudian direflesikan untuk kemudian dituangkan dalam kata-kata.
Oleh karena itu, biasanya apa yang diartikulasikan oleh sastrawan khususnya masalah-masalah yang terkait dengan masalah sosial politik itu menjerminkan suasana batin masyarakat pada umumnya. Jadi kalau pun itu berupa kritik, maka ia merupakan reprensentasi dari suara dan hati nurani masyarakat luas. Bagaimanapun kritik yang dikemukakan itu tidak untuk kepentingan diri sendiri, tetapi agar ada perbaikan untuk kepentingan dan kemaslahatan bersama.
Lagi pula, sastra yang sarat kritik sosial pada dasarnya merupakan aspirasi. Pada era seperti sekarang ini, dimana ruang public yang bebas (free public sphere) tersedia, maka keberadaannya sah dan niscaya adanya. Mestinya kita berterima kasih kepada individu yang melakukan kritik, sebab dengan kritik kita bisa memperbaiki diri, bisa berefleksi dan bisa mengaca diri. Mengapa? Sastra pada dasarnya pantulan dari kehidupan manusia itu sendiri. Dalam sejarahnya, hanya sastra yang berpijak kepada realitas sosial saja yang memberi manfaat dan mengantarkan pembaca untuk kritis, mengambil pelajaran untuk kemudian mentranspormasikan ke dalam kehidupannya sendiri-sendiri.
Dengan konteks seperti yang dipaparkan di atas, maka tulisan ini ingin kembali kepada kasus ‘pencelakan’ Rendra. Dari peristiwa itu menunjukkan bahwa pejabat ‘negeri’ Pemalang masih belum berubah. Alasan yang dikemukakan sangat klasik, meniru gaya Orde Baru. Padahal zaman sudah berubah, iklim dan suasana politik sudah berganti. Bukan musimnya lagi ‘mencekal’ seseorang karena alasan ia kritis.