Selasa, 24 Juli 2007

Stop Setoran Ke DPR

Adalah Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hidayat Nur Wahid yang meminta para menteri dan pemimpin lembaga yang menjadi mitra kerja Dewan Perwakilan Rakyat menghentikan pemberian uang dan aneka bentuk setoran kepada para wakil rakyat dalam proses pembuatan undang-undang. Setoran itu tidak perlu, sebab anggaran legislasi sudah disediakan.


Tradisi ini memang sudah berlangsung sejak Orde Baru. Pangkal soalnya, adalah gengsi para menteri. Ada anggapan yang berkembang waktu itu, setiap menteri akan dianggap berprestasi jika kementerian yang dipimpunnya mampu menggoalkan UU. Ini pangkal dari adanya tradisi setoron kepada anggota DPR. Tentu bukan hanya itu, setoran itu juga dimaksudkan untuk melapangkan jalan agar kepentingan pihak terkait bisa diakomodasi oleh DPR. Wajar kemudian, kalau kita menyimak produk legislasi lebih banyak mengakomodasi kepentingan pemesan dibandingkan dengan kepentingan publik.

Tradisi setoran itu, kemudian memunculkan adanya ‘makelar-makelar’ yang mengkomunikasikan kepentingan pemesan dengan kepada para anggota DPR. Memang tidak ada alasan lagi anggota DPR menerima setoran. Pertama, anggaran penyusunan undang-undang pada tahun ini telah dinaikkan, dari Rp 668 juta pada tahun lalu menjadi Rp 1,1-2,4 miliar untuk tiap rancangan undang-undang. Kedua, untuk saat ini proses legislasi lebih banyak porsinya di DPR. Tidak ada lagi menteri yang mau mengambil point untuk menaikkan kementeriannya dengan menginisiasi RUU.

Masih hangat dalam ingatan kasus amplop anggota DPR pada Pembahasan RUU Pemerintahan Aceh. Masalah yang mencuat itu dengan berujung kepada pengembalian uang amplop DPR kepada kas negara. Masalah ini kemudian dianggap selesai oleh KPK, karena KPK menganggap kasus pemberian honorarium kepada anggota Pansus RUU PA itu merupakan gratifikasi.
------

Anggota DRP memang dilarang menerima imbalan atau hadiah sesuai dengan aturan perundangan yang berlaku. Baik saat melaksanakan fungsi legislasi, tetapi juga dalam pelaksanaan fungsi anggaran dan pengawasan. Saat menjalankan fungsi anggaran dan fungsi pengawasan inilah godaan terbesar muncul bagi anggota DPR.

Terdapat beberapa pola formulasi uang amplot itu. Pertama, untuk menaikkan Dana Alokas Umum (DAU)/Dana Alokasi Khusus (DAK) daerah. Pola ini dilakukan dimana pemerintah daerah bekerjasama dengan panitia anggaran. Harapannya adalah agar post anggaran dari pusat untuk daerah dinaikkan. Pola ini tampak pada issue yang sempat muncul dimana beberapa anggota DPR disinyalir menjadi calo anggaran. Nama-namanya sempat beredar di publik, tetapi kemudian tindak lanjutnya tidak terdengar.
Kedua, dana APBD untuk melapangkan kepentingan daerah. Pola ini tampak pada kasus yang pernah mencuat dimana seorang anggota DPR dalam rangka mendukung pembahasan sebuah undang-undang pemekaran. Pihak-pihak yang berkepentingan, pemerintah daerah, berkinginan agar pembuatan undang-undang di DPR dapat dikabulkan atau dipercepat.
Ketiga, gratifikasi. Amplop dari departemen terkait untuk melapangkan jalan dalam pembahasan UU. Contoh kasus ini tampak pada saat pembahasan RUU PA beberapa waktu yang lalu.
--------

Kita berharap dengan adanya tekad di atas, maka kasus-kasus uang ekstra yang diberikan kepada anggota DPR tidak akan terjadi lagi. Masalahnya peraturan saja. Aturan sudah jelas, bahwa anggota DPR dilarang menerima imbalan bagi anggota DPR RI diatur di dalam Kode Etik Anggota DPR yang menyatakan ”anggota dilarang menerima imbalan atau hadiah dari pihak lain, sesuai dengan peraturan perundang-undangan” (Pasal 11 Kode Etik DPR RI). Jika ada yang mengalir ke anggota DPR maka jelas bertentangan dengan Undang-undang Perubahan atas Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi (Pasal 12 B UU No. 20 tahun 2001).

Untuk itu, tampaknya kasus-kasus masa lalu yang sempat mencuat di permukaan sudah seharusnya ditindak lanjuti. Dalam banyak kasus, ada kecenderungan anggota DPR yang melakukan penyalahgunaan wewenang dan melanggar kode etik diselesaikan melalui kompromi-kompromi politik tingkat tinggi. Oleh karena itu, banyak kasus yang sudah mencuat dipermukaan kemudian berakhir tanpa kabar, tanpa tindak lanjut yang jelas.
Bagaimanapun langkah untuk menyetop setoran ke DPR harus dipandang sebagai langkah yang baik untuk menjamin tidak adanya gratifikasi kepada anggota DPR. Bagaimanapun gratifikasi itu juga adalah uang negara.

Ellyasa KH Darwis
.

Adalah Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hidayat Nur Wahid yang meminta para menteri dan pemimpin lembaga yang menjadi mitra kerja Dewan Perwakilan Rakyat menghentikan pemberian uang dan aneka bentuk setoran kepada para wakil rakyat dalam proses pembuatan undang-undang. Setoran itu tidak perlu, sebab anggaran legislasi sudah disediakan.


Tradisi ini memang sudah berlangsung sejak Orde Baru. Pangkal soalnya, adalah gengsi para menteri. Ada anggapan yang berkembang waktu itu, setiap menteri akan dianggap berprestasi jika kementerian yang dipimpunnya mampu menggoalkan UU. Ini pangkal dari adanya tradisi setoron kepada anggota DPR. Tentu bukan hanya itu, setoran itu juga dimaksudkan untuk melapangkan jalan agar kepentingan pihak terkait bisa diakomodasi oleh DPR. Wajar kemudian, kalau kita menyimak produk legislasi lebih banyak mengakomodasi kepentingan pemesan dibandingkan dengan kepentingan publik.

Tradisi setoran itu, kemudian memunculkan adanya ‘makelar-makelar’ yang mengkomunikasikan kepentingan pemesan dengan kepada para anggota DPR. Memang tidak ada alasan lagi anggota DPR menerima setoran. Pertama, anggaran penyusunan undang-undang pada tahun ini telah dinaikkan, dari Rp 668 juta pada tahun lalu menjadi Rp 1,1-2,4 miliar untuk tiap rancangan undang-undang. Kedua, untuk saat ini proses legislasi lebih banyak porsinya di DPR. Tidak ada lagi menteri yang mau mengambil point untuk menaikkan kementeriannya dengan menginisiasi RUU.

Masih hangat dalam ingatan kasus amplop anggota DPR pada Pembahasan RUU Pemerintahan Aceh. Masalah yang mencuat itu dengan berujung kepada pengembalian uang amplop DPR kepada kas negara. Masalah ini kemudian dianggap selesai oleh KPK, karena KPK menganggap kasus pemberian honorarium kepada anggota Pansus RUU PA itu merupakan gratifikasi.
------

Anggota DRP memang dilarang menerima imbalan atau hadiah sesuai dengan aturan perundangan yang berlaku. Baik saat melaksanakan fungsi legislasi, tetapi juga dalam pelaksanaan fungsi anggaran dan pengawasan. Saat menjalankan fungsi anggaran dan fungsi pengawasan inilah godaan terbesar muncul bagi anggota DPR.

Terdapat beberapa pola formulasi uang amplot itu. Pertama, untuk menaikkan Dana Alokas Umum (DAU)/Dana Alokasi Khusus (DAK) daerah. Pola ini dilakukan dimana pemerintah daerah bekerjasama dengan panitia anggaran. Harapannya adalah agar post anggaran dari pusat untuk daerah dinaikkan. Pola ini tampak pada issue yang sempat muncul dimana beberapa anggota DPR disinyalir menjadi calo anggaran. Nama-namanya sempat beredar di publik, tetapi kemudian tindak lanjutnya tidak terdengar.
Kedua, dana APBD untuk melapangkan kepentingan daerah. Pola ini tampak pada kasus yang pernah mencuat dimana seorang anggota DPR dalam rangka mendukung pembahasan sebuah undang-undang pemekaran. Pihak-pihak yang berkepentingan, pemerintah daerah, berkinginan agar pembuatan undang-undang di DPR dapat dikabulkan atau dipercepat.
Ketiga, gratifikasi. Amplop dari departemen terkait untuk melapangkan jalan dalam pembahasan UU. Contoh kasus ini tampak pada saat pembahasan RUU PA beberapa waktu yang lalu.
--------

Kita berharap dengan adanya tekad di atas, maka kasus-kasus uang ekstra yang diberikan kepada anggota DPR tidak akan terjadi lagi. Masalahnya peraturan saja. Aturan sudah jelas, bahwa anggota DPR dilarang menerima imbalan bagi anggota DPR RI diatur di dalam Kode Etik Anggota DPR yang menyatakan ”anggota dilarang menerima imbalan atau hadiah dari pihak lain, sesuai dengan peraturan perundang-undangan” (Pasal 11 Kode Etik DPR RI). Jika ada yang mengalir ke anggota DPR maka jelas bertentangan dengan Undang-undang Perubahan atas Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi (Pasal 12 B UU No. 20 tahun 2001).

Untuk itu, tampaknya kasus-kasus masa lalu yang sempat mencuat di permukaan sudah seharusnya ditindak lanjuti. Dalam banyak kasus, ada kecenderungan anggota DPR yang melakukan penyalahgunaan wewenang dan melanggar kode etik diselesaikan melalui kompromi-kompromi politik tingkat tinggi. Oleh karena itu, banyak kasus yang sudah mencuat dipermukaan kemudian berakhir tanpa kabar, tanpa tindak lanjut yang jelas.
Bagaimanapun langkah untuk menyetop setoran ke DPR harus dipandang sebagai langkah yang baik untuk menjamin tidak adanya gratifikasi kepada anggota DPR. Bagaimanapun gratifikasi itu juga adalah uang negara.

Ellyasa KH Darwis
.

Tidak ada komentar:

Template Design | Elque 2007